Minggu, 17 Maret 2013

makalah otentisitas ajaran islam


PENGERTIAN ISLAM
           
                        Islam menurut bahasa diambil dari bentuk masdar (infinitif) yaitu aslama, yuslimu, islaaman, yang berarti kepatuhan, ketundukan, dan berserah[1]. Pengunaan kata aslama menunjukan mutlaknya dilakukan proses untuk meraih keselamatan. Maksudnya, selamat yang diberikan kepada seseorang bukan dalam bentuk pemberian kata tanpa kerja, by giving, tetapi untuk mendapatkan keselamatan dibutuhkan proses dalam bentuk usaha dan kerja serius[2]. Disini dibutuhkan usaha yang kuat dan sabar untuk mendapatkan tempat yang dekat dengan Allah swt agar apa yang kita lakukan di dunia selalu atas karena Allah dan juga untuk mengharap ridho Allah swt.
                        Sedangkan islam menurut istilah ialah seperti apa yang dikemukakan oleh Mahmud Syaltut yang bias kita lihat dalam bukunya yang berjudul Al-Islam: ‘Aqidatun wa Syari’atun. Beliau memberi definisi islam adalah agama Allah yang diwasiatkan untuk mempelajari pokok-pokok dan syari’atnya kepada nabi Muhammad saw dan wajib (harus) menyampaikan kepada selueuh manusia[3]
            Dalm pengertian diatas kita melihat ada kata lain yang mempunyai hubungan erat dengan islam, yaitu wahyu dan syariat. Wahyu adalah suatu yang diberikan Allah swt kepada nabinya yang berisi tentang syari’at atau tatacara dalam menjalankan agama dalam kehidupan kita didunia. Tiga hal ini, yaitu islam, wahyu dan syariat saling berkaitan erat dan saling melengkapi satu sama lainnya. Islam(agama) tanpa wahyu bagaikan jalan raya tanpa rambu-rambu, sehingga pengguna jalan itu akan leluasa dan berlaku se-enaknya saja. Begitupun islam dengan wahyu tapi tanpa syariat, sudah ada keyakinan, sudah ad rambu-rambu, tapi tidak ada isi atau substansinya. Sehingga nilai-nilai yang ada didalamnya akan terasa hampa, kosong dan tanpa makna.
Jadi bisa dirumuskan, Islam adalah pengakuan pengakuan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah rasul utusan Allah, mendirikan sholat, membayar zakat, menunaikan puasa di bulan Ramadhan dan menunaikan haji.
Jika melihat pengertian diatas kita bisa melihat integritas islam, wahyu dan syariat yang amat kuat dan saling menguatkan. Disinilah pentingnya islam dengan wahyu dan syariat berjaln secara beriringan satu sama lain.
Pengertian islam secara terminologis sebagaimana yang dirumuskan para ahli dan ulama bersifat sangat beragam, tergantung dari sudut pandang yang digunakan. Jadi bisa kita simpulkan bahwa islam adalah wahu allah yang disampaikan kepada nabi Muhammad saw sebagaimana terdapat dalam Al-Quran dan sunah, berupa undang-undang serta aturan-aturan hidup sebagai petunjuk bagi seluruh manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat[4].

OTENTISITAS AJARAN ISLAM

1.      AL-QURAN
            Secara etimologis, kata Al-quran berasal darikata qara’a yaqra’u qur’anan. Yaitu bacaan atau mashdar yang di artikan dengan kata maqru’, artinya; yang dibaca.
            Secara terminologis banyak definisi  Al-Qur’an yang dikemukakan oleh para ulama’. Akan tetapi dalam hal ini kita bisa melihat definisi yang dikemukakan oleh abdul Wahab Khalaf. Menurut khalaf al-Qur’an ialah firman Allah yang diturunkan kepada hati Rasulullah, nabi Muhammad bin Abdullah, melalui jibril dengan menggunakan lafadz bahasa arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi Rasulullah, bahwa ia benar-benar menjadi Rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia, member petunjuk kepada mereka dan menjadi sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan membacanya. Ia terhimpun dalam mushaf, dimulai dari surat Al-Fatikhah dan di akhiri dengan surat An-nas, disampaikan secara mutawattir dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun tulisan serta terjaga dari perubahan dan pergantian[5].
 Al-Quran adlah wahyu dari Allah untuk nabi Muhammad saw melalui perantara malaikat jibril . kemudian nabi menyampaikannya kapada para sahabat. Lalu para sashabat menghafal dan menuliskannya diberbagai media, seperti pelepah kurma, kertas maupun tulang hewan dan lain-lain. Hal itu dilakukan terus menerus sampai wahyu yang terakhir dan akhirnya nabi Muhammad wafat.
Setelah nabi Muhammad wafat, Abu bakar, sebagai khalifah yang menggantikan nabi Muhammad memulai usha untuk mengumpulkan teks-teks Al-quran yang masih berserakan dimana-mana. Hal itu didodrong oleh sahabat umar yang khawatir akan keutuhan Al-Quran karena banyak dari penghafal Al-Quran yang gugur dalm peperangan yamamah. Kemudian Abu Bakar menyetujuinya dan ditunjuklah sahabat Zaid bib Tsabit sebagai pelaksana penulis Mushaf Al-Quran yang pertama. Tidak sampai waktu setahun, mushaf Al-Quran yang pertama berhasil diselesaikan oleh Zaid bin Tsabit.
Pad zaman khlifah usman bin affan, seiring dengan perkembangan dan perluasn kekuasaan islam, muncul problem baru yaitu perbedaan dialek karena keberagaman Negara-negara islam yang dikhawatirkan akn meletuskansebuah pertentangan tentang Al-Quran. Lalu muncul upaya untuk menyalin mushaf abu Bakar yang kemudian akan disebara ke beberapa kota, yaitu: Kuffah, Bashrah, Mekkah, dan syuriah. Dalam upaya ini, zaid bin Tsabit dipercaya lagi menjadi orang yang melaksanakan tugas mulia ini. upaya ini berhasi dan menghasilkan beberapa mushaf hasil salinan dari mushaf Abu Bakar, yaitu yang biasa disebut mushaf usmany. Kemudian khalifah usman memerintahkan agar membakar semua catatan-catatan ayat Al-Qur’an selain Mushaf tadi. Dan membaca Al-Qur’an menurut bacaan atau qira’at yang terdapat dalam mushaf usmany.
Itulah cikal bakal mushaf al-Quran yang kemudian sampai ke tangan kita sekarang ini. Sebagaimana disebutkan oleh abdul wahab khllaf (ilmu ushul fiqh, 1990:24), bahwa  kehujahhan Al-Qur’an itu terlatak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikit pun tidak ada keraguan atasnya. Dengan kata dan Al-Qur’an itu betul-betul datang dari Allah dan dinukil secara Qath’iy (pasti)
Allah sendiri-lah yang juga menjaga ke-otentitisitasnya dan merawatnya sehingga jauh dari rekayasa, perubahan berupa penambahan atau pengurangan Al-Qu’an.
2.      AL-HADIST
Hadist menirut bahasa yaitu kebalikannya qadim : dahulu, yaitu baru. Ada juga yang mengatakan bahwa hadist menurut bahasa yaitu perkataan. Ini berdasarkan ayat al-quran surat An-nisa’ : 87. Hadist sering dikaitkan dengan sunnah. Menurut ulama’ jumhur hadist dan sunnah adalah sama. Tetapi menurut Ibnu Taymiyyah hadist dan sunnah  tidak sama. Menurut Ibn Taymiyyah, al-hadis merupakan ucapan, perbuatan maupun taqrir Nabi Mhammad sebatas beliau diangkat menjadi Nabi/Rasul. Sedangkan sunnah lebih dari itu, yakni sebelum dan ssudah diangkat menjadi Nabi/Rasul.
            Hadist menurut istilah ialah segala informasi mengenai perbuatan, perkataan, keizinan nabi. Berdasarkan pengertian tersebut, maka hadist itun terbagi menjadi tiga bentuk
1.      Hadist perkataan, yang biasa disebut Hadist Qauli (berupa perkataan)
2.      Hadist perbuatan, yang biasa disebut Hadist Fi’li (berupa perbuatan)
3.      Hadist penetapan, yang biasa disebut Hadist Taqriri (berupa penetapan)

Selain tiga jenis hadist tersebut, juga ada hadist qudsi, yaitu firman allah  yang disampaikan kepada nabi, kemudian kalimatnya disusun oleh nabi Muhammad saw sendiri; bukan kalimat-kalimat langsung dari Allah swt. Hadits tersebut dinamakan qudsi, kaerna berasal dari Allah swt. Yang maha suci (Al-Qudsi), sedangkan kalimat atau bahasanya disusun oleh Rasul, sehingga disebut Hadist.
Al-Quran dan hadits, keduanya merupakan sumber ajaran islam kepada umat islam. Dan untuk menjadi kemurnian serta menghindari kemungkinan bercampur aduk antar keduanya, maka rasulullah saw menggunakan cara dan jalan yang berbeda dalam menyampaikannya kepada para sahabat. Terhadap Al-Quran, beliau secara resmi memerintahkan kepada para sahabat untuk menulis serta menghafalkannya. Sedangkan terhadap hadits, beliau hanya menyuruh menghafalkannya saja dan tidak menulisnya secara resmi.
Adapun  faktor-faktor utama dan terpenting yang menyebabkan rasulullah melarang penullisan dan pembukuan hadits adalah :
a.      Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat al-Qur’an dan hadits rasul bagi orang-orang yang baru masuk islam.
b.      Takut berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditelaah.
c.       Khawatir oprang-orang awam berpedoman pada hadits saja. (Hasan Sulaiman abbas Alwi, 1995:6)
Rasulullah menyampaikan hadits dalam berbagai kesempatan, antara lain;
Pertama, melalui jamaah dalam majlis ilmi.
Kedua, melalui sahabat-sahabat tertentu.
Ketiga, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti saat haji wada dan futuh makkah (penaklukan kota mekkah)
            Jadi, penyebaran hadits pada masa rasulullah hanya disebarkan lewat mulut ke mulut (secara lisan). Hal ini bukan hanya dikaerenakan banyak sahabat yang tidak bisa menulis hadits, tetapi juga karena nabi melarang untuk menulis hadits[6]. Hali ini dikarenakan munculnya kekhawatiran beliau seperti yang telah disebutkan diatas.
            Setelah rasulullah wafat, banyak sahabat yang berpindah ke kota-kota diluar madinah. Sehingga memudahkan untuk percepatan penyebaran hadits. Namun, dengan semakin mudah nya para sahabat meriwayatkan hadits dirasa cukup membahayakan bagi otentisitas hadits tersebut. Maka khalifah abu bakar meneraokan aturan yang membatasi periwayatan hadits. Begitu juga dengan khalifah umar ibn al-khattab.[7]
            Pada masa khlifah ustman ibn affan, periwayatan hadits nabi tetap berlanjut meskipun tidak setegas umar ibn al-khattab. ini disebabkan oleh karakteristik pribadi usman yang lebih lunak jika dibandingkan dengan umar, selain itu wilayah kekuasaan islam yang semakin luas juga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan riwayat secara maksimal[8].
            Sedangkan pada masa pemerintahan khalifah ali ibn abi thalib, situasi pemerintahan islam telah berbeda dengan masa sebelumnya. Masa itu merupakan krisis dan fitnah dalam masyarakat. Terjadinya peperangan antar beberapa kelompok kepentingan politik juga mewarnai pemerintahan Ali. Secara tidak langsung, hal ini membawa dampak negative dalam periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadits. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadits dapat dipercaya riwayatnya[9].
            Pada masa pembatasan periwayatan ini, para sahabat hanya meriwaytkan hadits jika ada permasalahan hokum yang mendesak. Mereka tidak meriwayatkan hadits setiap saat, seperti dalam khutbah. Sedangkan pada masa pembanyakan periwayatan, banyak dari sahabat yang dengan sengaja menyebarkan hadits. Namun tetap dengan dalil dan saksi yang kuat. Bahkan jika diperlukan, mereka rela melakukan perjalanan jauh hanya untuk mencari kebenaran hadits yang diriwayatkannya.
            Pengumpulan dan penulisan hadits, atau yang lebih popular disebut dengan istilah pentadwinan hadits pada masa khlifah umar bin abdul aziz merupakan usaha pengumpulan dan penulisan hadits-hadits dari para ulama’ penghafalnya secara resmi yang pertama kali dilakukan oleh pihak pemerintah. Hal ini dikarenakan kahalifah umar bin abdul aziz khawatir akan hilangnya hadits-hadits rasulullah, karena banyak ulama yang meninggal dan juga akan tercampurnya hadits yang asli dan hadits yang palsu.
            Dengan pertimabangan tersebut, khalifah umar bin abdul aziz menginstruksikan kepada wali kota madinah, abu bakar ibn Muhammad ibn ‘amr bin hazm, untuk mengumpulkan hadits yang ada. Hal serupa juga diperintahkan kepada tabi’in wanita, ‘Amrah binti “abd al-rahman.  Dengan instruksi ini, ibn hazm mengumpulkan hadits-hadits, baik yang ad pada dirinya sendiri maupun pada ‘amrah yang banyak meriwayatkan hadits dari Aisyah r.a[10].
            Namun usaha ini khusunya di madinah belum sempat dilakukan secara lengkap oleh abu bakar ibn amr ibn hazm dan akhirnya di teruskan oleh imam Muhammad bin muslim bin syihab az-zuhri[11]. Inilah sebanya sejarah dan ulama menganggap bahwasanya ibn shihab az-zuhri yang pertama mengkodifikasikan hadits secara resmi atas perintah khalifah.
            Setelah ibn hazm dan ibn shihab, muncul kodifikasi hadits perioda kedua yang disponsori oleh para khalifah bani abassiyah. Ulama periode ini antara lain ibn juraij (w. 150 H), abu ishaq (w. 151 H), imam malik (w. 179 H) dan lain-lain[12].

           


[1] Kamus al-munawwir Arab-Indonesia, achmad Warson munawwir (Surabaya: Pustaka Progessif, 1997) hlm.654 dan 656
[2] Pengantar Studi Islam, Khoiruddin Nasution (Yogyakarta: ACAdeMIA tazaffa, 2010) hlm.2.
[3] Mahmud Syaltut, Al-islam: ‘Aqidatun wa Syari’atun (Beirut dan Kairo: Dar al-Syuruk, 1403/1983) hlm.7 .
[4] Pengantar studi islam (Ngainun naim, teras,yogyakarta.2009)hal.3.
[5] Abdul Wahab Khallaf; Ilmu Ushulfiqh, cet IX, (Jakarta:Al-Majlis Al-A’la Indonesia lil Al-Da’wah Al-Islamiyah,1972)hal.23.
[6] Pengantar studi al-quran dan al-Hadits (teras: nur kholis, Yogyakarta : 2008)hal.200.
[7] Ibid. hal.202.
[8] Ibid hal.204
[9] Ibid
[10] Pengantar studi islam (Ngainun naim, teras,yogyakarta.2009)hal.68.
[11] Op.cit hal.208.
[12] Op. cit hal.69.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar