Minggu, 17 Maret 2013

resensi buku islam liberal dan fundamental


ISLAM LIBERALIS DAN FUNDAMENTALIS

Sebuah buku yang menurut saya bagai medan perang yang saking bingungnya kita tak tahu akan berlindung ke arah mana. Diangkat dengan tema yang sangat hangat pada saatnya dan sampai sekarang pun masih menjadi pembicaraan menarik dalm diskusi-diskusi maupun forum tak resmi, semisal obrolan di warung. Tak akan ada habisnya jika kita terus menyoal tentang tema ini karena memang baik yang pro maupun yang kontra sama-sama menunjukkan kekuatan argumentasi masing-masing dengan cara tersendiri.
Gagasan Ulil Abshar Abdalla (selanjutnya ditulis Ulil) yang kemudian dimuat dalam harian Kompas tanggal 18/11/2002 yang berjudul Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam banyak menuai pro dan kontra.  banyak orang mengatakan bahwa ulil telah menghina Allah, Rasul dan agama Islam dan masih banyak pula kata-kata yang lebih keras yang ditujukan kepadanya. Tetapi sebagian yang lain tetap mendukungnya dengan berbagai ungkapan kata dan spirit moral agar tetap melanjutkan langkahnya tersebut.
Ulil adalah seorang intelektual muda NU yang pada saat itu secara getol melontarkan pemikiran islam liberalnya bersama-sama kawan-kawannya yang lain. Menurut Abdurrahman Wahid, pemikiran ulil tersebut terlalu meloncat kedepan dari masanya sehingga orang pada umumnya belum siap menerima gagasan seperti itu sehingga dia harus menanggung cemoohan, hinaan, makian sampai pengkafiran.
Buku ini adalah kumpulan artikel-artikel dari pihak yang pro terhadap gagasan ulil maupun yang kontra terhadap ulil yang sebelumnya dirangsang oleh artikel ulil yang kontroversial itu sebagai wacana pembuka. Terdapat juga bagian wawancara dan dialog dengan Ulil Abshar Abdalla.
Di dalam buku ini anda akan di suguhi argumen-argumen yang tak kalah dengan artikel ulil sendiri. Anda akan terhenyak dan tertegun dan mungkin sedikit sulit untuk mencerna. Karena memang artikel yang dimuat di buku ini adalah tulisan dari orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya. Dan anda harus berpintar-pintar membacanya dengan jeli dan teliti agar apa yang anda baca bisa masuk dan tak salah persepsi.
Dalam artikelnya yang berjudul Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam, seperti yang dikatakan mertuanya, Mustofa Bisri. Ulil menulis dengan nada provokatif dan geram segeramnya sehingga tak heran jika kemudian banyak yang menentangnya dengan keras.
Ada beberapa pemikiran ulil yang sulit diterima oleh umat muslim yang apabila salah mencerna akan menimbulkan suatu kebingungan. Pertama, tidak ada hukum Tuhan, yang ada hanyalah nilai-nilai universal yang terkandung didalamnya. Kedua, Nabi Muhammad adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya. Ketiga, seperti yang pernah diungkapkan Cak Nur, bahwa Islam adalah nilai generis yang bisa ada di agama Kristen, Budha, Konghucu, Yahudi, Taoisme dan Kepercayaan lokal lain. Bahkan bisa jadi ada pada filsafat Marxisme. Keempat, mengajukan Syari’at Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah. Dan masih banyak lagi pemikiran-pemikiran aneh dan nyleneh dari Ulil yang bisa kita temukan.
Pernyataan-pernyataan Ulil yang provokatif itu segera menimbulkan respon-respon yang pro maupun kontra. Respon yang kontra selalu mendominasi sebuah headline berita pada saat itu. Sehingga berkesan bahwa Ulil adalah pihak yang bersalah dan wajib bertanggung jawab atas kesalahannya tersebut. Tetapi tak sedikit pula yang membenarkan dan mendukungnya. Terus menyemangati ulil dan kawan-kawan agar terus melanjutkan gagasannya secara intensif ke seluruh penjuru Nusantara.
Tak hanya dari kaum muslim yang bersuara, bahkan para pemuka agama dari lain islam dan budayawan pun ikut berkomentar tentang gagasan-gagasan ulil dan cara penyampaiannya tersebut. Masalah ini cukup menggelitik kuping mereka sehingga mereka seperti mempunyai kewajiban untuk ikut memberikan komentarnya.
Dalam buku ini semua artikel yang pro maupun yang kontra mempunyai posisi yang Proporsional, Berimbang, Tidak memberatkan satu pihak dan sama-sama berbobot. Tidak ada unsur memihak dari penerbit untuk memenangkan salah satu yang pro ataupun yang kontra.
Dalam tanggapan kontra ada yang membaca dengan cara apriori-apologetik terhadap gagasan yang diusung Ulil, ada yang mencoba mementahkan tawaran tersebut, ada juga yang lebih serius dengan mengemukakan argumen dan tantangan metodologis.
KH Ali Athian adalah salah satu yang menentang ulil dengan keras. Ulama dari Bandung ini bersama ulama jawa barat, jawa tengah dan jawa timur yang kemudian mengatas-namakan diri sebagai Forum Umat dan Ulama Indonesia (FUUI) dalam sebuah pertemuan di bandung mengeluarkan fatwa bahwa pemikiran Ulil sesat dan menyesatkan, menghina Allah, Rasul dan agama Islam. Ulil telah dianggap kafir dan halal darahnya. Tidak hanya itu, FUUI juga melaporkan Ulil ke polisi.
Kemudian masih banyak lagi pihak-pihak yang belum bisa menerima gagasan-gagasan Ulil dan kawan-kawannya. Entah itu menolak dengan cara halus maupun dengan cara ekstrim sekalipun. Namun sebenarnya Ulil sudah tahu dan sudah siap menghadapi penolakan tersebut. Karena ia tahu bahwa sulitnya merubah suatu sitem yang telah mapan. Tetapi ia tak mundur sejangkal pun dan terus melangkah ke depan menyuarakan gagasannya.
Tak sedikit pula yang menaruh simpatik kepada Ulil dan terus mendukung Ulil agar terus melangkah ke depan. Pada bagian artikel pro Ulil, gagasan dan model pembaca pun cukup variatif. Ada yang membacanya dari aspek-aspek lain yang tak terikat dari teks, ada yang membacanya dengan sekedar afirmasi, dan ada pula yang memiliki harapan besar bagi perkembangan dan bersemayamnya islam yang liberal dan membebaskan.
Kita benar-benar dapat menyimak klarifikasi Ulil dalam bagian wawancara dialog. Pada bagian ini semua adalah klarifikasi ulil mengenai artikel fenomenalnya, gagasan-gagasannya, maksud dan tujuan tulisan provokatifnya dan tentu masih banyak lagi klarifikasi-klarifikasi Ulil dibalik artikelnya itu.
Bagian ini diambil dari beberapa hasil wawancara koran harian dan sebuah dialog super seru dan super panjang via email antara Ulil Abshar Abdalla dengan H.M Nur Abdurrahman, Wakil Ketua Majelis Syura Komite Persiapan Penegakan Syari’at Islam (KPPSI) Sulawesi Selatan .
Lewat dialog inilah kita bisa melihat bagaimana seorang cendekiawan muda NU, Ulil Abshar Abdalla berargumentasi mempertahankan pendiriannya dengan HM Nur Abdurrahman yang telah berusia 71 tahun. Kedua orang yang beda jauh usia ini tetap bisa saling menaggapi argumen satu dengan yang lain dengan masing-masing pendiriannya sehingga menjadikan dialog ini terus memunyai jalan untuk berlanjut tanpa ada kebuntuan.
Dan pada bagian terakhir sebuah epilog dari KH Abdurrahman Wahid (gusdur) melengkapi buku ini sehingga menambah warna-warni keindahan dalam buku ini. Dengan cara pandangnya sendiri, Gus Dur menilai bahwa apa yang dilakukan Ulil adalah sebuah aktifitas untuk melepaskan diri dari keterkungkungan berpikir. Jika kita tidak menerima sikap untuk membiarkan Ulil berpikir dalam media khalayak, kata dia, maka kita dihadapkan kepada dua pilihan antara larangan terbatas untuk berpikir bebas, atau sama sekali menutup diri terhadap kontaminasi (penularan) dari proses modernisme.
Ulil sesungguhnya anak ideologi dari Gus Dur yang menggotong demokrasi, pluralisme, toleransi, HAM, dan lain sebagainya. Teme-tema besar tersebut sudah banyak dibicarakan oleh pemikir Islam sebelumnya dan sama sekali bukan hal yang baru. Gagasan-gasan tersebut sebelumnya telah pernah disampaikan oleh para pendahulu Ulil seperti Gus Dur, Cak Nur, dan juga beberapa dari luar indonesia seperti Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman hingga Arkhoun.
Bedanya islam liberal yang di usung Ulil ini lebih terorganisir dengan rapi dan penyampainnya yang lebih intens kepada masyarakat. Islam liberal Ulil terus menyosialisasikan gagasannya lewat berbagai media sehingga tak hanya orang atas saja yang mengetahui tetapi juga dari kalangan bawah. Muslim maupun non muslim pun ikut serta menyorot dan mengikuti perkembangan peristiwa ini.
Ulil sebenaranya ingin menyampaikan beberapa hal dalam peristiwa ini yang bisa kita temukan dalam buku ini. Semua hal dalam buku ini adalah nyata dan realita, tak ada rekayasa fakta maupun pemalsuan data. Tidak ada keberpihakan terhadap salah satu kubu yang pro maupun yang kontra. Semua pembaca disuguhi perang wacana yang indah dalam suatu bingkai perbedaan.
Pembaca diberi kebebasan penuh untuk mengartikan setiap kata demi kata yang ada dalam buku ini. Tidak ada sebuah intervensi terhadap pembaca agar masuk ke dalam posisi yang mana. Seperti dalam pemikiran liberal, setiap orang mempunyai kebebasan untuk berpikir kemudian memberikan suatu penafsiran terhadap masalah tertentu.
Setelah membaca buku ini, diharapakan pembaca tidak hanya ikut-ikutan dalam berkomentar, tetapi juga mengetahui seluk beluk dan akar masalah secara menyeluruh dan mendalam. Para pembaca juga diajak untuk berpikir kreatif konstruktif mengenai masalah-masalah dalam buku ini.
Menurut saya, kekurangan buku ini adalah kurang adanya suatu pengenalan terhadap masalah yang sama tetapi dalam waktu dan tempat yeng berbeda. Dibutuhkan suatu pengenalan masalah yang pernah terjadi kepada Gus Dur maupun Cak Nur dalam eranya masing-masing. Sehingga pembaca menjadi tahu dan mengerti bukan dalam satu medan saja tetapi juga dalam medan yang lainnya.
Kelebihan buku ini adalah menghadirkan artikel-artikel dari penulis ternama di Indonesia yang mempunyai kompetensi dan kredibelitas dalam bidangnya masing-masing sehingga menghasilkan pembacaan masalah  dari berbagai sudut pandang yang kemudian memperkaya kajian-kajian dan memperluas tema tetapi tidak keluar dari koridor pembahasan utama.



Identitas buku :
Judul buku :
ISLAM LIBERAL DAN FUNDAMENTAL
Sebuah Pertarungan Wacana
Penulis : Ulil Abshar Abdalla, dkk
Editor : Dzulmanni
Penerbit : elSAQ Press
Terbit : Cetakan IV, Juni 2007
Halaman : 315

Tidak ada komentar:

Posting Komentar